Senin, 28 Januari 2013

LANGKAH-LANGKAH PASTI

Bulir embun yang tercampak di helai daun,
menatap cemas rona pagi yang tak lagi menguning
laksa cerita yang berhamburan di titian waktu yang mengukir peradaban
menyeret langkah menuju perjalanan..
bahagia kan terlukis jelas di layar kaca..
semuanya telah tersirat dalam takdirmu ya Robby
bahwa bumi tengah berjalan di atas sehelai rambut..
Aku hanya mampu terdiam,
mengemasi perca mimpi yang luruh di hamparan ladang bisu
ku buka jendela hati, kularungkan sebait do’a
pada-Mu  ya Allah….

Rabu, 16 Januari 2013

DINGIN



debur ombak di Pantai Barat menghantam jiwaku
tapi tak mampu goyahkan sepi
sapaan angin mengajak kabut dingin
menyusupi pori-pori,
merontokkan tulang..,
tapi tak mampu runtuhkan sunyi
sepi tanpa keheningan
sunyi dalam kebisuan
disitu aku terdampar
sendiri
menapaki kerindua

MALAM



ketika sinar rembulan pucat
sesosok rindu tanpa sayap
terbang ke langit malam
gelap mata
gelap hati
membuat ia lupa dimana tempat bersinggah
gelap malam menghapuskan arah dan tujuan
sementara,
dingin sunyi menjadi saksi
jiwa-jiwa yang menggigil
terperosok ke ceruk jurang malam

Selasa, 15 Januari 2013

Jumat, 04 Januari 2013

MASJID AL HIDAYAH BRANTI JURANGAGUNG



ternyata tidak beredar

10 Feb 2011

Peluncuran Film Plantungan
Kamis (10/02) sebuah film dokumenter durasi 40 menit besutan Putu Oka Sukanta dari Lembaga kretif kemanusiaan (LKK) luncurkan di Goethe haus. Sebuah narasi tentang perjuangan perempuan yang dipenjara di sebuah camp bekas rumah sakit Lepra di Kendal, Semarang, dengan judul yang diambil dari nama penjara tersebut “PLANTUNGAN
Trailer film yang diputar dalam siaran pers di Komnas Perempuan, memulai rangkaian acara launching film tersebut . hadir dalam siaran pers tersebut Desty (Komnas Perempuan) Indria Fernida (Kontras), Galuh Wandita (ICTJ), Putu Oka (Sutradara), Suci Danarti dan Pujiati (narasumber).
Acara diakhiri dengan menyematkan symbol “kekuatan” berupa selendan dan PIN dari generasi muda yang akan meneruskan perjuangan dan kekuatan yang dimiliki oleh para perempuan dalam film tersebut.

Kamis, 03 Januari 2013

Univ. Hamburg Kaji Film “Plantungan” tentang Testimoni Eks Tapol Gerwani/PKI

Filed under: BERITA,FILM,PUSTAKA SESAWI,RESENSI |
BANYAK orang di Indonesia barangkali tidak ngeh bahwa ada sebuah film bertitel sama dengan nama tempatnya yakni Plantungan. Ini adalah sebuah wilayah perbukitan di sekitaran Sukorejo di Weleri Selatan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Film Plantungan menjadi menarik diperbicangkan, lantaran film ini bertutur kata mengenai testimoni  para mantan tahanan politik perempuanyang pernah disekap di Penjara Plantungan, tak lama setelah G30S/PKI meletus di Jakarta tahun 1965.
Film yang boleh dikatakan semi-dokumenter ini menurut rencana akan dibahas di Pusat Kajian Asia-Afrika di Universitas Hamburg, Jerman, 7 Desember ini.
Sekali waktu, saya berkesempatan melihat dari dekat Penjara Plantungan ini tahun 1989. Lahan permukiman khusus untuk tahanan politik berkelamin perempuan ini berada di sebuah kawasan bertekstur perbukitan, sedikit agak jauh dari permukiman penduduk. Sebagian gedungnya sudah rusak dimakan usia, namun sisa-sisa aroma  “kebengisan” sebuah penjara khusus tahanan politik masih bergema kuat manakala menatap kisi-kisi besi yang sudah mulai berkarat.
Bekas sanatorium
Penjara Plantungan di Sukorejo awalnya merupakan sebuah rumah sakit khusus para pasien penderita lepra. Sanatorium ini kemudian disulap rezim Orde Baru menjadi penjara bagi para perempuan Indonesia anggota atau simpatisan PKI. Kelompok perempuan PKI yang kemudian populer disebut Gerwani ini dituduh telah ikut menelanjangi dan mengiris-iris tubuh para jenderal Pahlawan Revolusi saat dieksekusi di Lubang Buaya, Halim, Jakarta Timur, akhir September 1965.
Tak ada proses peradilan yang pernah dilakukan untuk membuktikan kebenaran tuduhan itu.
Film Plantungan besutan penyair Putu Oka Sukanta dan Fadillah Vamp Saleh ini seakan menjadi “juru bicara” atas kebisuan para mantan tahanan politik itu atas kejamnya kehidupan di balik jeruji besi di Plantungan. Melalui media film, maka berbicaralah sejumlah pelaku peristiwa di Plantungan. Mereka itu adalah Suci Danarti, Siti Duratih, Pujiwati, Mujiati dan Sp, Tican yang pernah mendiami bilik-bilik kecil Plantungan tanpa pernah tahu apa kesalahan mereka hingga harus meringkuk di balik jeruji besi.
Putu Oka Sukanta sendiri merupakan alumnus tahanan politik di Pulau Buru kurun waktu 1986-1976.
Film Plantungan ini menyertakan subtitel bahasa Inggris.
Di bawah ini, kami  sertakan press release tentang diskusi film ini di Universitas Hamburg:
Ein bewegender Film über das berüchtigte Gefangenenlager Plantungan, eingerichtet für politisch inhaftierte Frauen in einem abgelegenen Gebiet von Zentral-Java. Das Wort Plantungan wird oft mit der Insel Buru in Verbindung gebracht, die uns die Vorstellung von einem Ort vermittelt, an dem Menschen vertrieben wurden und an welchem sie als Insassen inhaftiert wurden. Selbst lange Zeit nach der Lager-Schließung war das Wort Plantungan noch immer mit der Kommunistischen Partei Indonesiens (PKI) verknüpft. So gibt es bis heute viele Erinnerungen, die bei den Opfern Leid und angsterfüllte Gefühle hervorrufen.
Der Film porträtiert die langfristigen und anhaltenden Auswirkungen des New Order-Regimes und seine Bemühungen, die Frauenorganisatione n und -bewegungen zu zerstören, die für eine Verbesserung der Rechte der Frauen eintraten. Dieser Film ist einer von mehreren Dokumentationen über die erschütternden Ereignisse, die Suhartos gewaltsame Machtübernahme 1965/1966 begleiteten.
Diese Reihe wurde von einem der führenden unabhängigen Filmproduzenten und Autoren Indonesiens, Putu Oka Sukanta, produziert, welcher selbst von 1966 – 1976 ein Gefangener auf der Insel Buru war.
Ort / Zeit:
Universität Hamburg, Asien-Afrika- Institut, R.221
Mittwoch, den 7. Dezember 2011
18.00 Uhr

HAK ASASI MANUSIA: Film Tragedi Kemanusiaan di Plantungan Diluncurkan

HAK ASASI MANUSIA: Film Tragedi Kemanusiaan di Plantungan Diluncurkan


KOMPAS – Sabtu, 12 Februari 2011
Jakarta, Kompas – Peristiwa politik tahun 1965 di Indonesia diperkirakan menelan korban jutaan jiwa. Mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia dibunuh, dihilangkan dengan paksa, serta ditahan dan dipenjara tanpa proses pengadilan. Di antara mereka, banyak perempuan yang menjadi korban.
”Sekitar 500 perempuan ditahan di Plantungan (Kendal, Jawa Tengah). Di sana Komnas Perempuan menemukan setidaknya dua kasus kehamilan karena kekerasan seksual,” kata Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Desti Murdijana saat peluncuran film dokumenter Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan, di Jakarta, Kamis (10/2).
Komnas Perempuan pada 2007 menerbitkan laporan pemantauan Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965. Dokumen ini ditulis berdasarkan kesaksian 122 perempuan yang diduga terlibat dalam peristiwa politik 1965, serta mencatat 1.192 kasus kekerasan yang terdiri dari 165 kasus kekerasan seksual dan 1.027 kasus kekerasan nonseksual.
Film Plantungan yang disutradarai Putu Oka Sukanta dan Fadillah Vamp Saleh ini mendokumentasikan kekerasan yang dialami beberapa perempuan korban/survivor peristiwa politik 1965. Film ini diproduksi oleh Lembaga Kreativitas Kemanusiaan, sebuah lembaga yang didirikan oleh seniman dan keluarga eks tahanan politik. Plantungan mengungkapkan kehidupan perempuan di dalam tahanan dengan berbagai tekanan dan kekerasan yang mereka alami, salah satunya adalah eksploitasi seksual.
Dua survivor 1965, yaitu Suci Danarti dan Pujiyati, menceritakan kehidupannya selama ditahan di Plantungan yang berjarak 15 kilometer arah barat daya Sukorejo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. ”Plantungan pada zaman Belanda merupakan rumah penampungan penderita lepra,” kata Suci Danarti. (LOK)

Kamp Tapol Perempuan G30S di Plantungan - Kendal

Kamp Tapol Perempuan G30S di Plantungan - Kendal

Diterbitkan : 7 Oktober 2011 - 1:10pm | Oleh KBR 68H (Foto KBR68H)
Nama Plantungan memang tak setenar Pulau Buru yang menjadi tempat pembuangan para tahanan politik dengan cap PKI. Namun Plantungan yang terletak di Kendal, Jawa Tengah menjadi saksi dari kisah tragis perempuan Indonesia yang dikurung di bekas Rumah Sakit Lepra tersebut.
Di sinilah sekitar 500an perempuan yang dituduh komunis ditahan selama bertahun-tahun. Reporter KBR68H Suryawijayanti mengajak salah satu penghuni Plantungan kembali menyusuri kamp pembuangan tapol perempuan ini.
Perkenalan
Mujiati: Nama saya Mujiati, dulu saya tinggal di Slipi, Jakarta. Waktu peristiwa 65, saya termasuk orang yang ditahan, bersama bapak saya. Karena waktu itu saya menjadi anggota organisasi pemuda rakyat. Saya tak mengerti kenapa anggota pemuda rakyat dituduh melakukan pembunuhan di Lubang Buaya. Padahal saya juga gak mengerti Lubang Buaya itu di mana.
Sambil sesekali membetulkan letak kacamatanya, Mujiati menunjuk sejumlah perempuan dalam foto hitam putih. Foto itu diambil di depan sebuah klinik di Plantungan, sekitar 40 tahun lalu.
Suasana Menunjukkan Foto-foto
Mujiati: Ini yang sebaya aku, yang dibuang ke Buru semua. Ini Nyonya Heriani, ini Tatik Lestari dari Satyawacana, lalu ini wartawan Antara, sekarang di Belanda, Ini Endang dari Pekalongan, ini Ibu Dokter, ini Ibu Cahyamurat. Lha ini kliniknya, panggung bentuknya, di bawahnya kali Lampir.
Plantungan, nama desa di perbatasan Kabupaten Kendal dan Batang, Jawa Tengah. Pada zaman penjajahan Belanda, Plantungan menjadi tempat penampungan penderita lepra. Selama hampir 100 tahun sejak dibangun pada 1870, para penderita lepra diisolasi di desa ini. Pada 1970-an, Plantungan menjadi tempat pembuangan 500an perempuan yang divonis terlibat atau dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Mujiati, salah satu bekas penghuni Plantungan.
Kondisi Blok
Mujiati: Blok untuk ruang tidur itu hanya dipan, paling banyak diisi 50 orang. Satu dipan dipakai 4 orang. Trus ada kotak untuk tempat pakaian. Kita ruang makan di luar, jadi gak boleh bawa makanan ke blok. Lalu makan di luar ada meja, kita dapat rantang.
Tiap tapol mempunyai tugas rutin yang wajib dilakukan dengan pengawasan ketat.
Kegiatan di Kamp
Mujiati: Kita rata-rata jam lima bangun, karena jam 5.45 harus apel. Kalau yang tugas dapur ya jam 3 bangun, dan ini tugas giliran sebulan sekali. Lalu yang tugas bersih-bersih ruangan sampai ambil makanan. Nah yang tidak dapat tugas itu ada kerja unit, ada unit pertanian, penjahitan, peternakan. Kalau peternakan ada ternak kambing, kelinci, ayam. Kalau pertanian kita nanam singkong, ubi, lalu sayuran. Di sini yang tumbuh bagus sawi, labu siam. Nah kangkung gak bisa tumbuh di sini.
Makanan
Mujiati: Kadal, bekicot itu makanan kita sehari-hari. Lalu ada daun-daun yang kita makan. Nah ini ada daun tikim, ini obat lapar. Asinan betawi dulu pakai ini. Ini juga namanya daun sintrong, kita makan juga. Kita makan segala untuk bertahan hidup, protein hewani ya bekicot, yuyu, sompil, kadal, ular. Ular itu takut sama kita, bukan kita takut sama ular.
Di Plantungan, tiap tapol terikat pada pola yang wajib dilakon. Mata pengawas di mana-mana, bahkan menyusup ke dalam blok.
Pertengkaran
Mujiati: Di sini khan ada juga yang dekat dengan komandan, ya kita harus hati-hati saja. Mereka dapat tugas untuk mengawasi teman-temannya.
KBR68H: Jadi tugasnya mengadu domba?
Mujiati: Iya. Mereka itu dipanggil ke atas. Kalau istilah kita mereka makan nasi putih, makan enak, diajak pergi, dibelikan baju baru. Yang dilaporkan itu hal-hal yang tak prinsipil. Misalnya saya yang Nasrani, makan gak berdoa, tidur gak berdoa, itu dilaporkan ke komandan. Khan bukan hal politis banget.
Penjagaan
KBR68H: Penjagaan waktu itu seperti apa?
Mujiati: Mereka selalu kontrol, maka demi keamanan kalau tidur kita pakai celana panjang.
KBR68H: Tapi ada kasus-kasus pelecehan seksual?
Mujiati: Waktu itu yang melayani komandan, sakit, dipanggil Bu Bidan Ratih, diperiksa. Dan hasil pemeriksaan, hanya dengan diraba, sudah ketauan kalau hamil. Lalu komandan sejak saat itu tidak boleh turun, kalau turun ke blok dijaga oleh anak buahnya atau CPM
KBR68H: Akhirnya nasib dari tapol yang hamil, gimana?
Mujiati: Komandan akhirnya dibebas-tugaskan dari sini dan diganti. Aminah kemudian dibebaskan pada 1978 dalam posisi mengandung 6 bulan dan sampai saat ini kami gak pernah dengar beritanya.
Orde Baru sukses menciptakan cap buruk bagi perempuan yang terlibat atau dituding simpatisan PKI. Para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) digambarkan turut terlibat dalam pembunuhan para jenderal di Lubang Buaya dengan melakukan tari-tarian saat pembantaian dilakukan. Mereka bahkan dilukiskan turut menyilet para jenderal.
Namun stigma yang keji itu pupus ketika para tapol justru menjadi penyelamat warga sekitar, di Plantungan.
Ngobrol Dengan Warga
Mujiati: Sebelum kami datang masyarakat sudah diindoktrinasi, hati-hati dengan orang-orang di blok. Ada tuh pak Haji kalau hari Jumat khotbahnya bilang: Saudara-saudara jangan dekat dengan bekas-bekas PKI, perempuan pakai celana. Padahal kita pakai celana khan biar praktis kalau ke sawah manggul pacul.

Slamet: Saya berterima-kasih dengan pertolongan Bu Bidan Ratih dan kawan-kawan, karena banyak pertolongannya. Warga di sini gak ada yang berobat ke tempat lain, selain di klinik. Slamet, salah satu warga yang merasakan pertolongan para tapol perempuan. Anak-anaknya lahir lewat tangan Bidan Ratih yang kondang di sekitar Plantungan. Siti Duratih dulunya bidan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Ia dibuang ke Plantungan karena suaminya, Oloan Hutapea menjadi anggota Departemen Agitasi dan Propaganda, Partai Komunis Indonesia. Siti Duratih di usia senjanya sudah susah untuk diajak berjalan jauh, karena kakinya yang semakin renta.
Sudah hampir 46 tahun semenjak peristiwa 30 September 1965. Namun bagi Mujiati, peristiwa itu masih menyisakan tanda tanya besar. Ia yang ditahan tanpa diadili, selama puluhan tahun harus menanggung diskriminasi. Dikucilkan, tak diakui sebagai warga negara.
Soal Lubang Buaya
Mujiati: Kamu ikut ke Lubang Buaya yah? Nggak pak. Ya tuduhannya itu, kalo pemuda rakyat pasti tuduhannya tanggal 30 di Lubang Buaya, nyilet-nyilet jenderal, kita disuruh mengaku. Kalau gak mengaku ya disiksa, dipukul. Saya ditampar mulut saya, muka saya. Lha karena saya gak kesana ya saya bertahan gak ngaku.
Meski mengaku tak bersalah, Mujiati tetap dijebloskan ke penjara wanita Bukitduri. Enam tahun kemudian, Mujiati bersama puluhan tapol lainnya digelandang ke Plantungan, Jawa Tengah. Mujiati menjadi tahanan ke-358 yang dijebloskan ke penjara itu.
Menuju Plantungan
Mujiati: Jam tiga kita dibangunkan, trus kita dikumpulkan di aula, barang-barang diperiksa, orangnya diperiksa ditelanjangi, jadi kita cuma pake BH dan celana dalam, diperiksa oleh KOWAD (Korps Wanita Angkatan Darat). Kita diberangkatkan kira-kira jam 4 dengan 2 bus. Waktu itu depan Jatinegara sepi, dikawal. Di Wleri kita dijemput oleh komandan Plantungan
KBR68H: Pertama kali sampai di Plantungan gimana?
Mujiati: Kita gak dicampur dengan teman-teman terdahulu. Kita dipisah selama kurang lebih sebulan, baru kemudian dikumpulkan jadi satu dengan yang lain. Kita khan pakai nomer, nah saya dapat nomer 358. Artinya adalah orang yang 358 tiba di Plantungan.
Pengasingan terhadap Tapol berakhir pada 1979 ketika dunia Internasional mengecam Indonesia. Tekanan datang terutama dari Amnesti Internasional dan negara-negara donor. Mereka mendesak Indonesia untuk membebaskan para tahanan politik sebagai prasyarat cairnya bantuan internasional bagi pemerintah Indonesia.
Mujiati masuk kloter terakhir yang keluar dari Plantungan. Pembebasan bukan berarti kebebasan tanpa syarat bagi bekas tapol. Hingga memaksa Mujiati dan suaminya mengubur sejarah kelam itu.
Soal Anak dan PKI
Mujiati: Pada waktu masih ada ayahnya kita rahasiakan, agar anak-anak tak tahu. Tadinya dia bilang, Bu kita tanggal 1 Oktober nonton film G30S/PKI, Bu PKI itu jahat, bunuh jenderal, ya kita diam saja. Setelah ayahnya meninggal pada 1994, saya berterus terang, daripada nanti dengar dari orang, lebih baik saya yang kasih tahu. Memang betul nak, enam Jenderal dibunuh, ditambah 1 perwira. Tapi yang membunuh itu tentara, bapak dan ibumu menjadi korban dituduh menjadi anggota PKI. Ribuan teman-teman bapak dan ibumu jadi korban. Sejak saat itu mereka tahu soal bapak dan ibunya.
Di usia lebih 60 tahun, Mujiati kini masih sibuk dengan aktivitas bersama teman-teman seperjuangannya. Nenek satu cucu ini masih berjuang meluruskan sejarah. Rekaman kesewenang-wenangan rezim Orde Baru diimbanginya dengan kisah yang dia tuturkan sebagai pelaku sejarah.
Tanggapan Atas Napak Tilas
KBR68H: Sehari ini kita napak tilas, lalu kemudian kita bertemu dengan warga dan para saksi sejarah, bagaimana perasaan eyang?
Mujiati: Terharu ya, teryata mereka terhadap kami tidak ada kesan yang jelek. Begitu cintanya dengan kita, sampai pertemuan tadi yang begitu hangatnya. Gak bisa terkatakan, haru, bangga yang masih mengenal kita. Mereka mengenang baiknya, merasa ditolong.
Soal Sejarah
Mujiati: Inilah dari kami seperti ini, lalu yang kalian dengar dari versi pemerintah. Anda-andalah yang menentukan. Itu terserah anda yang menilainya
Laporan ini disusun oleh Reporter KBR68H, Suryawijayanti, untuk Radio Nederland Wereldomroep.

HUJAN


KETIKA indah sore itu datang
bukan pada matahari senja
yang berwarna jingga

indah sore itu
bukan pada biru samudera
di batas cakrawala

indah sore itu
adalah hitam rambutmu
yang buat aku terpana

indah sore itu
adalah biru matamu
yang memancarkan pesona

USMAN

BIODATA
NAMA :USMAN MUNIB
ALAMAT : BRANTI JURANGAGUNG
KECAMATAN :PLANTUNGAN
KABUPATEN : KENDAL
PROP : JAWA TENGAH

BISMILLAH